Menjadi sebentuk sandal jepit mungkin bukanlah sebuah pilihan…
Berprofesi sebagai alas kaki, sandal jepit harus menerima dengan pasrah posisinya yang selalu ada di strata terbawah dan menyerah pasrah tatkala diinjak dan bergesekan dengan brutal pada permukaan aspal, atau sekedar berlepotan lumpur saat musim hujan…
Dengan posisi serba repot, sandal jepit harus menerima nasib ketika menjadi ‘raket‘ darurat menggantikan posisi raket asli di saat beberapa bocah kumal bermain badminton atau ping-pong, sekedar meneguk kegembiraan ala kanak-kanak yang tidak ingin direnggut oleh siapapun, bahkan oleh kemiskinan. Babak belur begitu bola mengenai permukaannya yang memang empuk, namun konyolnya menjadi benjol karena ulah sang bocah dengan dahsyat memukuli temannya sampai menangis. Ah, sedari dulu…
Ditangan orang kreatif yang bisa mengubah tampilan si sandal menjadi lebih artistik tentu menaikkan kelasnya menjadi barang hias, art n craft … mmm, maka tempatnya tidak lagi di kaki, tapi diatas meja atau dikurung di lemari hias berkaca.
Ah, tapi yang jelas…sandal jepit punya takdir utama untuk melengkapi dan melindungi kaki. Tidak pantas kalo sampai naik ke kepala, apalagi dipukulkan ke kepala…tapi, begitulah…setidaknya balada tidak seenak balado tentunya…
Yang tinggal hanyalah inti dari semua ini, hikmah esensi yang terkandung, siapapun kita…yaitu menghargai diri sendiri. Karena dengan begitu, kita bisa lebih mudah menghargai orang lain…walaupun mungkin kita diciptakan sebagai sandal jepit…
akur?…
Filed under: RenuNGan, Introspeksi
Ok sendal jepit
akur….. trims bro….
hidup..sandal jepit..